TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hadist
Dosen pengampu Hisbullah
Disusun Oleh:
Nur Azizah ( 931332014 )
Mega Lestari ( 931332414 )
Durrotul Masturin ( 931332714 )
PRODI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
SWT berkat rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Sholawat serta salam kami curahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak akan berhasil
dengan baik tanpa adanya bimbingan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Dosen mata kuliah Hadist, yang telah memberi ilmu dan
pengarahan dalam makalah ini.
2.
Bapak dan Ibu yang telah memberikan doa sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.
3.
Sahabat-sahabat yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
Semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sebagai balasan atas amal
baik dari semua pihak yang telah disebutkan di atas. Sadar akan kekurangan dan
keterbatasan yang kami miliki, kami mohon maaf jika ada penulisan yang kurang
berkenan di hati bapak dosen dan juga pembaca. Kritik dan saran sangat kami
harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Kediri, 9 Maret 2015
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Gelar pemimpin umat layak diberikan kepada mereka yang mampu
memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat itu dan mengantarkannya dengan
selamat sampai kepada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan
tidak selalu berjalan didepan, terkadang disamping, di tengah, dimana saja
menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang
diantarkannya.
Tidak hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada
tujuan yang diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memiliki suatu komitmen
yang didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan
perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga memiliki keberanian untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini, jika kita melihat realita yang ada sulit sekali
kita mendapati pemimpin yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas. Banyak
pemimpin yang hanya mementingkan ego pribadi demi mementingkan kesejahteraan
bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka bersikap sedemikian rupa
seolah-olah kepemimpinan mereka tidak akan dipertanggungjawabkan suatu saat
nanti. Hal ini bisa jadi disebabkan karena kurangnya tingkat keimanan yang
dimiliki oleh seorang pemimpin, sehingga ia terpengaruh oleh hal-hal yang
negatif dan menyalahi aturan agama, bahkan aturan yang berlaku di tempat
tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan?
2.
Bagaimana
hadist mengenai Setiap Muslim adalah Pemimpin?
3.
Bagaimana
hadist mengenai Larangan Meminta diangkat menjadi Penguasa?
4.
Bagaimana
hadist mengenai Tanggung Jawab bagi Pemimpin Kaum?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan
Dilihat dari sisi bahasa Indonesia “pemimpin” sering disebut
penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak,
ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya.
Sedangkan istilah memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan
peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan
berbagai cara.
Istilah pemimpin dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar
yang sama “pimpin”. Jadi pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki
kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan/kelebihan di satu bidang sehingga
dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Sedangkan kepemimpinan adalah suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk
mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang
dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi, sehingga dalam
suatu organisasi kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam
menentukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi.
Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan
dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut, karena kelak Allah SWT akan
meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu.[1]
B.
Setiap Muslim adalah Pemimpin
1)
Teks Hadist
حديث عبدالله بن
عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : كللكم راع فمسؤل عن
رعيته فالا ميرالذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو
مسؤل عنهم. والمراة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال
سيده وهو مسؤل عنه, الا فكللكم راع وكللكم مسؤل عن رعيته
Terjemahan Hadist
“Hadist Abdullah Bin Umar r.a
bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin yang akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan
rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang rakyatnya.
Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarga di rumahnya. Seorang wanita
adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggung jawaban
tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda
tuannya, ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang harta tuannya.
Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung
jawaban tentang kepemimpinannya.”
2) Penjelasan
Kata kuncinya adalah kepemimpinan
melekat kepada masing-masing individu, sesuai dengan tingkat kepemimpinannya.
Setiap orang adalah pemimpin, minimal untuk dirinya sendiri. Memimpin diri
sendiri adalah dengan cara menghindari segala aktifitas yang negatif, baik jasmani
maupun rohani. Makan dan minum didapat dengan cara yang halal, meninggalkan makanan
dan minuman yang makruh, apalagi yang haram. Di sini, kehalalan dan kesehatan
dari makanan dan minuman menjadi perhatian utama.
3) Kesimpulan
Bila ditinjau dari perannya,
masing-masing punya panggung dan tanggungjawabnya sendiri. Siapapun mereka,
baik seorang kepala rumah tangga, ibu rumah tangga, maupun para pembantu yang
bekerja di rumah. Panggung dan peran tidak boleh ditukar. Semuanya harus proporsional.
Seorang suami bertanggungjawab penuh kepada keluarganya, temasuk mencari nafkah
secara optimal di sektor publik. Sementara istri, bertanggungjawab atas sektor
domestik, di lingkungan rumah. Sedangkan para pembantu, bertanggungjawab atas
pekerjaan yang diembankan kepadanya.
Panggung dan peran dalam kepemimpinan
ini bila benar-benar dilaksanakan secara benar dan proporsional akan
memunculkan harmonisasi. Tetapi bila panggung dan peran tertukar akibatnya juga
akan terbalik-balik.[2]
4)
Biografi Perowih
Abdullah Ibn Umar ibn Al-Khattab adalah seorang sahabat Nabi yang berasal dari suku Qurays,
keturunan Bani Adi. Ayahnya adalah Umar ibn al-Khattab r.a, Khalifah Rasulullah
setelah Abu Bakar As-Shiddiq r.a. Ibunya Zainab binti Mazh’un ibn Hubaib al-Jumahiyah.
Saudarinya adalah Hafshah binti Umar, istri Nabi Muhmmad SAW. Ia memeluk Islam
bersama ayahnya. Hanya saja, memang ia berhijrah mendahului ayahnya. Mungkin karena
itulah banyak yang mengira bahwa ia lebih dahulu masuk Islam dari pada ayahnya.
Ketika Rasulullah
SAW menyeru kaum muslim untuk berjihad pada perang badar dan Uhud, beliau mengeluarkan
dari barisan pasukan beberapa remaja yang dianggap belum cukup usia, termasuk di
antaranya Abdullah ibn Umar, yang belum balig. Memang ada banyak remaja yang
bersemangat ikut perang dan ingin meraih kesyahidan.
Perang Khandaq adalah
perang pertama yang diikuti oleh Abdullah ibn Umar. Ia selalu berusaha mengikuti
jejak langkah Rasulullah dalam segala urusan. Sepanjang hidupnya, Ia banyak menghabiskan
waktu alamnya untuk beribadah kepada Allah dan mendirikan shalat malam. Pada suatu
malam, seorang sahabatnya datang sambil membawa makanan. Abdullah bertanya,
“Apa ini?” Sahabatnya menjawab, “Obat untuk mengenyangkan perut.”
Ibn Umar tersenyum dan
berkata, “Untuk mengenyangkan perut? Sudah empat puluh tahun aku tidak pernah kenyang
oleh makanan.”
Malik pernah mengatakan
bahwa Ibnu Umar termasuk salah seorang imam kaum muslim. Selama enam puluh tahun
ia memberi fatwa, baik di musim haji atau kesempatan lain. Misalnya, dalm sebuah
kesempatan, Abdullah Abdullah ibn Umar berkata, “Berbuat kebaikan itu mudah:
wajah berseri dan perkataan yang lembut.”
Ia ikut dalam banyak
peperangan bersama kaum muslim lainnya, termasuk perang Muktah dan perang Yarmuk.
Pada perang Yamamah ia ikut serta bersama pamannya, Zaid ibn al-Khattab. Ketika
terjadi fitnah antara Ali dan Muawiyah, ia memilih mengasingkan diri, enggan terlibat
dalam sengketa tersebut. Namun, di akhir hayatnya ia berkata, “Belum pernah aku
merasakan penyesalan berkaitan dengan urusan dunia selain ketika aku tidak dapat
ikut berperang bersam Ali melawan kelompok yang zalim.”
Ibn Al-Atsir menuturkan
bahwa al-Hajjaj memerintahkan seseorang untuk membunhuh Ibn Umar dengan menancapakan
tombak beracun ketubuhnya. Tombak itulah yang menewaskan Abdullah ibn Umar.
Semoga Allah merahmatinya.[3]
C.
Larangan Meminta Diangkat Menjadi Penguasa dan Lebih Baik
Meninggalkan Kekuasaan Jika Tidak Mendesak atau Tidak Ada Kebutuhan Untuk Itu
1)
Teks Hadist 1
حديث عبد الرحمن بن سمرة, قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : يا
عبدالرحمن بن سمرة ! لا تسأل الامارة, فإنك ان اوتيتها عن غير مسئلة أعنت عليها,
وان اوتيتها عن مسئلة وكلت إليها, وإذا حلفت على يمين, فرأيت غيرها خيرا منها, فأت
الذي هو خير, وكفر عن يمينك. ( متفق عليه )[4]
2)
Terjemahan Hadist
Hadist Abdurrahman Bin Samurah, ia berkata: “Nabi SAW bersabda:
“Wahai Abdurrahman Bin Samurah! Janganlah engkau meminta jabatan, karena
sesungguhnya jika kamu diberi jabatan tanpa memintanya maka kamu akan diberi
pertolongan dalam mengembannya, tetapi jika kamu diberi jabatan atas permintaan
maka jabatan itu diserahkan kepadamu sepenuhnya (tidak ditolong oleh Allah).
Dan jika kamu telah bersumpah atas sesuatu hal, lalu kamu melihat ada perbuatan
lain yang lebih baik dari pada sumpahmu itu, maka kerjakanlah perbuatan yang
lebih baik dan bayarlah tebusan atas sumpahmu itu.“[5]
3)
Penjelasan
Adapun pemimpin yang besar adalah yang menguasai perkara-perkara
orang muslim secara umum. Sedangkan kepemimpinan secara khusus, seperti
pemimpin pada sebuah sektor di daerah-daerah yang mencakup pemerintahan yang
lebih khusus.Sebagaimana dengan hadist di atas, seseorang dilarang meminta
jabatan atau kedudukan, karena seolah-olah meminta jabatan agar kehidupan
bagus, dan ia tidak memiliki bagian di akhirat nanti. Oleh karena itu, meminta
jabatan dilarang.
4)
Pengesahan Hadist
Hadist diriwayatkan
oleh Al-Bukhari (XI/516-Fat-h) dan Muslim (1652).
5)
Kosa Kata Asing
· لا تسئل الامارة: janganlah engkau meminta kepemimpinan, khilafah atau yang
lainnya, dan larangan ini bersifat mengharamkan.
· أعنت عليها: Allah akan membantumu dengan dukungan untuk melakukan yang
benar.
· وكلت إليها: Diserahkan kepada dirimu sendiri.
· حلفت على يمين: Kamu bersumpah atas suatu hal.
· فرأيت غيرها
خيرامنها: Kamu mengetahui ada
yang lebih baik dari pada apa kamu bersumpah atasnya.
· فأت : Kerjakanlah.
· كفر: Bayarlah kafarat (denda).
6)
Kandungan Hadist
· Larangan meminta atau mengincar hal-hal yang berkenaan dengan
jabatan, misalnya jabatan gubernur, hakim, dan tugas-tugas umum lainnya, karena
yang sering kali mendorong hal tersebut adalah kepentingan pribadi. Sedangkan
orang yang takut untuk mengemban jabatan maka ia akan lebih berlaku adil karena
takut terjerumus dalam perbuatan dosa.
· Diperbolehkan menerima jabatan jika diperintahkan oleh khalifah
atau ditentukan oleh badan yang berwenang.
· Seorang hamba tidak akan mendapatkan keberhasilan kecuali atas
pertolongan Allah SWT. Oleh karena itu, dia harus memenuhi sebab-sebab yang
menunjukkannya ke arah itu. Sedangkan orang yang urusannya diserahkan oleh
Allah SWT kepada dirinya sendiri, maka dia itulah orang yang gagal lagi merugi.
· Tidak diperbolehkan memenuhi sumpah jika diketahui ada yang lain
yang lebih baik darinya.
· Kewajiban membayar kafarat bagi orang yang membatalkan sumpahnya.
Dan hal itu boleh dilakukan setelah atau sebelum membatalkannya.
· Di dalam hadist tersebut terdapat dalil yang membimbing untuk
mendahulukan yang lebih baik dan lebih penting dalam kemaslahatan syari’at.
7)
Biografi Perowih
Imam Al-Bukhori
Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail bin
Ibrahim Bin al-Mughirah bin Bardizbah atau lebih dikenal Imam Bukhori (lahir
196 H/810 M-Wafat 256 H/870 M) adalah ahli hadist yang termasyhu diantara para
ahli hadist sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah bahkan dalam kitab-kitab fiqh dan hadist,
hadist-hadistnya memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan
julukan Amirul Mukminin fil Hadist ( pemimpin kaum mukmin dalam hal ilmu
hadist ). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Imam Bukhari dididik dalam keluarga
ulama yang taat beragama. Dalam kitab Ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa
ayahnya dikenal sebagai orang yang wara dalam arti berhati-hati terhadap
hal-hal yang bersifat subhat (ragu-ragu) hukumnya terlebih-lebih terhadap hal
yang haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki, seorang ulama besar
dan ahli fiqih. Ayahnya wafat ketika Imam Bukhori masi kecil.
Imam
Bukhori berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadist yang masyhur di
Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kta suci
terutama Makkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu dia mengikuti kuliah
pada guru besar hadist. Pada usia 18 tahun dia menerbitkan kitab pertama Kazaya
Shahabah wa Tabi’in, hafal kitab-kitab hadist karya Mubarak dan Waki bin Jarrah
bin Malik. Bersama gurunya Syeikh Ishaq, menghimpun hadist-hadist shahih dalam
satu kitab, dimana dari satu juta hadist yang diriwayatkan 80.000 perowi
disaring menjadi 7275 hadit.
Imam
Bukhori memiliki daya hafal tinggi sebagaimana yang diakui kakaknya, Rasyid bin
Ismail. Sosok dia kurus, tidak tinggi, tidak pendek,kulit agak kecoklatan,
ramah dermawan dan banyak menyumbangkan hartanya untuk pendidikan.
8)
Teks Hadist 2
- وعنه قال : قلت يارسول
الله ألاتستعملني ؟ فضرب بيده على منكبي ثم قال : (( يا أبا ذر إنك ضعيف, وإنها
أمانة, وإنها يوم القيامة خزي ونذامة, إلا من أخذهابحقها, وأدالذي عليه فيها )).
(رواه مسلم)
9)
Terjemahan Hadist
Dari Abu Dzar juga, dia bercerita, pernah kukatakan: “Wahai
Rasulullah, mengapa engkau tidak memberi jabatan kepadaku?” Maka beliau memukul
pundakku dengan tangan beliau, lalu bersabda: “Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya
kamu orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu amanat yang pada hari
kiamat kelak jabatan itu menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang
berhak untuk menjabatnya serta menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.”
(HR. Muslim)
10)
Pengesahan Hadist
Hadist diriwayatkan
oleh Muslim (1825)
11)
Kosa Kata Asing
· تستعملني: Mengangkatku sebagai petugas untuk menjalankan suatu tugas.
· منكبى : Pundakku
· خزي وندامة: Terbongkarnya aib bagi yang tidak menjalankan kewajibannya,
sehingga hal itu akan menjadikannya merasa menyesal.
· بحقها : Dia pantas menyandang jabatan tersebut.
12)
Kandungan Hadist
· Barang siapa mengejar kekuasaan maka tidak boleh diberi kekuasaan,
karena Islam tidak akan memberikan kekuasaan kepada orang yang mengejar dan
menuntutnya, tamak untuk mendapatkannya, serta bekerja keras untuknya dan orang
yang paling berhak mendapatkannya adalah yang tidak menginginkan dan
membencinya.
· Kekuasaan itu amanat yang sangat besar dan tanggung jawab yang
sangat berat. Oleh karena itu, barang siapa yang diberi kekuasaan untuk
mengurusnya maka hendaklah dia memelihara dan menjaga hak dan kewajibannya,
serta jangan sekali-kali dia mengkhianati janji Allah SWT dalam hal itu.
· Keutamaan orang yang memegang kekuasaan dan dia memang berhak
menyandangnya, baik dia seorang imam yang adil atau bendahara yang dapat
dipercaya atau pekerja yang rajin.
D. Tanggung
Jawab Pemimpin Kaum
1) Teks
Hadist
ان العرافة حق ولابدللناس من العرفإ ولكن
العرفإفى النار
2) Terjemahan Hadist
Sesungguhnya kepemimpinan pada suatu kaum adalah hak, dan mestilah
bagi manusia itu adalah pemimpin. Akan tetapi para pemimpin itu di dalam
neraka. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari seorang laki-laki dari ayahnya dari
kakeknya.
3) Sababul
Wurud
Sebagian dari penduduk negeri Arab itu hidup di pinggir jalan yang
dilewati musafir. Usaha mereka dengan membuka “warung nasi” (manhal)
bagi kafilah. Setelah orang-orang itu masuk islam, pemilik mata air dari kaum
itu menetapkan kewajiban menyerahkan 100 ekor unta sebagai jaminan keselamatan.
Maka mereka pun selamat, yaitu setelah mereka masuk Islam. Unta-unta itu
kemudian dibagi-bagikan kepada keluarga pemilik mata air (yang demikian penting
artinya bagi penduduk di gurun pasir). Tetapi di antara mereka yang telah
menyerahkan unta kepada pemilik mata air itu, memintanya kembali. Hal itu
menimbulkan konflik, dan (karena mereka sudah masuk Islam), salah seorang
pemimpin atau pemilik mata air itu mengadukan perkara itu kepada Nabi SAW.
Dengan mengutus salah seorang anaknya, “pergilah engkau menjumpai
beliau. Katakanlah bahwa ayahmu menyampaikan salam. Dan jelaskan pula bahwa
ayahmu menetapkan kewajiban menyerahkan 100 ekor unta atas kaumnya, yang
kemudian unta itu dibagikan untuk keluarganya, sampai muncul protes agar
unta-unta itu dikembalikan. Tanyakan pada beliau yang berhak atas unta itu,
apakah ayahmu atau mereka (yang telah menyerahkannya)? Jika beliau menjawab,
ayahmu yang berhak, atau menyatakan ayahmu tidak berhak, jelaskanlah bahwa
ayahmu sudah tua dan beliau adalah pemimpin (arif) dan pemilik atas mata
air tersebut. Katakanlah pula bahwa ayahmu memohon kiranya beliau sudi
menetapkan bahwa ayahmu tetap menjadi pemiliknya”.
Anak si pemimpin kaum yang memiliki mata air tadi menjumpai
Rasulullah SAW. Setelah beliau mendengar penjelasan dan permintaannya, beliau
mengucapkan sabda di atas, yang intinya pemungutan unta semacam itu menyebabkan
sang pemimpin (yang berkuasa) masuk neraka.
4) Keterangan
Hadis di atas ditandai dengan “dhaif” oleh As-Sayuthi.
‘Irafah pengendalian urusan kaum dan siasat (politik) mereka. Maka ‘arif
adalah pengendali atau orang yang memegang kekuasaan atas suatu kaum
(golongan). Setiap kaum memang harus ada ‘arif pemimpinnya, yang
mengurus dan menyelenggarakan segala keperluan mereka. “setiap kamu adalah
penggembala, dan setiap kamu bertanggung jawab atas gembalaanmu.”
Terkadang orang menyia-nyiakan kekuasaan (kedudukan) tersebut,
terutama yang menyangkut hak-hak orang yang dipimpinnya (ra’yyah),
sehingga perbuatannya itu menyebabkan dia (diancam) akan menjadi penghuni
neraka. Adapun yang menunaikan kewajiban dengan sebaik-baiknya dipandang
sebagai imam (pemimpin) yang adil dalam menegakkan hak-hak rakyat (orang-orang
yang dipimpinnya) dan menjalankan amanah Allah SWT yang dibebankan kepadanya.
Bagi pemimpin yang adil ini, Allah SWT janjikan lindungan (naungan) baginya di
hari kiamat kelak, pada saat tak ada lindungan kecuali lindungan dari Allah SWT.
Karena itu hendaklah setiap orang yang dibebankan bertakwa kepada
Allah mengenai apa yang diamanahkan Allah SWT kepadanya.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1)
Pemimpin
adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya
kecakapan/kelebihan di suatu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain
untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau
beberapa tujuan.
2)
Setiap orang adalah pemimpin. Memimpin diri sendiri
adalah dengan cara menghindari segala aktifitas yang negatif, baik jasmani
maupun rohani. Siapapun mereka, baik seorang kepala rumah tangga, ibu rumah
tangga, maupun para pembantu yang bekerja di rumah. Panggung dan peran tidak
boleh ditukar. Semuanya harus proporsional.
3)
Seseorang
dilarang meminta jabatan atau kedudukan, karena seolah-olah meminta jabatan
agar kehidupan bagus, dan ia tidak memiliki bagian di akhirat nanti. Oleh
karena itu, meminta jabatan dilarang. karena yang sering kali mendorong hal
tersebut adalah kepentingan pribadi. Sedangkan orang yang takut untuk mengemban
jabatan maka ia akan lebih berlaku adil karena takut terjerumus dalam perbuatan
dosa.
4)
Hendaklah
setiap orang yang dibebankan bertakwa kepada Allah mengenai apa yang
diamanahkan Allah kepadanya karena setiap pemimpin memiliki tanggung jawab
masing-masing terutama dalam menyelenggarakan dan mengurus segala keperluan
kaumnya. Seorang pemimpin yang menyia-nyiakan kekuasaannya diancam akan menjadi
penghuni neraka sedangkan pemimpin yang menunaikan kewajiban dengan
sebaik-baiknya (pemimpin yang adil) Allah janjikan lindungan baginya di hari
kiamat kelak.
DAFTAR
PUSTAKA
Ad Damsyiqi, Ibnu Hamzah Al Husaini
Al Hanafi. Asbabul Wurud Jilid 2. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Baqi,Muhammad Fuad Abdul. Terjemah
Al-Lu’Lu Wal Marjan. Semarang: Al-Ridho, 1993.
Kinas, Muhammad Raji Hasan. Terjemah
Nafahat ‘Athirah fi Sirah Shabath Rasulillah SAW. Jakarta: Zaman,
2012.
Mohammad, Herry. 44 Teladan Kepemimpinan Muhammad SAW. Jakarta: Gema Insani, 2008.
Rivai, Veithzal. Pemimpin dan
Kepemimpinan dalam Organisasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Wirawan,
Kepemimpinan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
[1]
Veithzal Rivai, Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Organisasi (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2013), 2-3. Lihat juga Wirawan, Kepemimpinan
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), 6.
[3]Muhammad Raji
Hasan Kinas, Terjemah Nafahat ‘Athirah fi Sirah Shabath Rasulillah SAW (Jakarta: Zaman, 2012), 101-103.
[4]Syaikh Salim
Bin ‘Ied Al-Hilali, Syarah Riyadhush Shalihin ( Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2000), 699-700.
[5]Muhammad Fuad
Abdul Baqi, Terjemah Al-Lu’Lu Wal Marjan (Semarang: Al-Ridho, 1993),
559-560
[6]Ibnu
Hamzah Al Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud Jilid 2 (Jakarta:
Kalam Mulia, 2009), 3-4.
0 komentar:
Posting Komentar