PENYUSUNAN KARYA ILMIAH
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia
Dosen pengampu Muhammad Nabil Khasbullah, M.Pd.I.
Disusun Oleh:
SITI
ZIYANATUL FALAH (931332314)
MEGA LESTARI (931332414)
ISNAINI ZULIANSYAH (931334214)
PRODI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2014
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
SWT berkat rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Sholawat serta salam kami curahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak akan berhasil
dengan baik tanpa adanya bimbingan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Dosen mata kuliah Bahasa Indonesia, yang telah memberi
ilmu dan pengarahan dalam makalah ini.
2.
Bapak dan Ibu yang telah memberikan doa sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.
3.
Sahabat-sahabat yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
Semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sebagai balasan atas amal
baik dari semua pihak yang telah disebutkan di atas. Sadar akan kekurangan dan
keterbatasan yang kami miliki, kami mohon maaf jika ada penulisan yang kurang
berkenan di hati bapak dosen dan juga pembaca. Kritik dan saran sangat kami
harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Kediri, 20 November 2014
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Karya ilmiah merupakan hasil tulisan yang menuruti
suatu aturan tertentu. Aturan tersebut biasanya merupakan suatu
persyaratan tata tulis yang telah dibakukan oleh masyarakat akademik. Secara
umum, proses penulisan karya ilmiah dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu: tahap
prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap perbaikan.
Sebagai hasil penelitian atau kegiatan ilmiah
setiap karangan ilmiah mengandung komponen adanya masalah yang menjadi topik
karangan ilmiah itu. Adanya tujuan penelitian, metode penelitian, teori yang
dianut, objek penelitian, instrumen yang digunakan, dan adanya hasil penelitian
yang diperoleh. Setelah kaidah ditemukan dan dirumuskan, kegiatan penelitian
harus diwujudkan dalam bentuk laporan. Hal ini dimaksudkan karena sasaran akhir
penelitian adalah mengkomunikasikan hasil penelitian pada khalayak terkait.
Oleh karena itu, menulis laporan merupakan tahap akhir yang penting dalam
penelitian, karena menulis laporan merupakan proses komunikasi yang membutuhkan
adanya pengertian yang sama antara penulis dan pembaca.
Jadi, dapat disimpulkan belajar menulis karya ilmiah
itu sangat penting. Supaya di setiap proses dan tahapannya sesuai dengan aturan
yang berlaku. Selain itu, pentingnya belajar menulis karya ilmiah juga dapat
memperjelas sasaran atau tujuan dilaksanakannya penelitian sehingga dalam
pembahasannya dapat disampaikan secara tepat dan mudah dipahami oleh pembaca.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian karya ilmiah?
2. Bagaimana
penggunaan ragam ilmiah?
3. Bagaimana
asas-asas penyusunan gagasan dalam karya ilmiah?
4. Bagaimana
teknik mengatur perwajahan karangan?
5. Bagaimana
aspek penalaran dalam karangan ilmiah?
6. Bagaimana
pengertian dari penalaran induktif dan deduktif?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui dan memahami pengertian karya ilmiah.
2. Untuk
mengetahui dan memahami penggunaan ragam ilmiah.
3. Untuk
mengetahui dan memahami asas-asas penyusunan gagasan dalam karya ilmiah.
4. Untuk
mengetahui dan memahami teknik mengatur perwajahan karangan.
5. Untuk
mengetahui dan memahami aspek penalaran dalam karangan ilmiah.
6. Untuk
mengetahui dan memahami pengertian dari penalaran induktif dan deduktif.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Karya Ilmiah
Karya
ilmiah merupakan karya tulis yang menyajikan gagasan, deskripsi atau pemecahan
masalah secara sistematis, objektif dan jujur, dengan menggunakan bahasa baku,
serta didukung oleh fakta, teori atau bukti-bukti empirik. Karya ilmiah
merupakan karya tulis yang isinya berusaha memaparkan suatu pembahasan secara
ilmiah yang dilakukan oleh seorang penulis atau peneliti.[1]
Berdasarkan
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa karya ilmiah adalah laporan
tertulis dan dipublikasi yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang
telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika
keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan.[2]
B.
Penggunaan
Ragam Ilmiah
Penulisan
karya ilmiah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas, tepat, formal dan lugas.
Kejelasan dan ketepatan isi dapat diwujudkan dengan menggunakan kata dan
istilah yang jelas, tepat, tidak berbelit-belit dan struktur paragraf yang
runtut.
Kelugasan
dan keformalan gaya bahasa diwujudkan dengan menggunakan kalimat pasif,
kata-kata yang tidak emotif dan tidak berbunga-bunga. Hindarilah penggunaan
kata seperti saya atau kita. Jika terpaksa menyebutkan kegiatan
yang dilakukan oleh penulis sendiri istilah yang dipakai bukan kami atau saya, melainkan penulis atau
peneliti. Namun, istilah penulis atau peneliti hendaknya digunakan seminimal mungkin.
Skripsi
yang mengikuti paradigma positivistik wajib ditulis dengan ragam bahasa ilmiah,
tidak menggunakan ragam bahasa sastra, orasi, daerah, pasar, populer dan
sejenisnya. Dalam ragam bahasa ilmiah positivistik berlaku ketentuan-ketentuan
antara lain: baku, logis, terukur, tepat, denotatif, efektif, terjalin
kesinambungan urutan serta bahasa yang baik dan benar.[3]
C.
Asas-asas
Penyusunan Gagasan dalam Karya Ilmiah
1. Kejelasan
(clarity)
Karangan ilmiah harus konkret dan jelas. Kejelasan
itu tidak saja berarti mudah dipahami,
mudah dibaca, tetapi juga harus tidak memberi ruang untuk disalahtafsirkan,
tidak boleh bersifat sama-samar, kabur
dan tidak boleh ada di wilayah abu-abu. (Bahasa Jawa: ‘kedah gamblang wijang-wijang’). Kejelasan di dalam karangan ilmiah
itu ditopang oleh hal-hal berikut:
a.
Pemakaian bentuk
kebahasaan yang lebih dikenal daripada bentuk kebahasan yang masih harus dicari-cari
dulu maknanya, bahkan oleh penulisnya.
b.
Pemakaian kata-kata
yang pendek, ringkas, tajam, lugas, daripada kata-kata yang berbelit, panjang,
rancu dan boros (verbose).
c.
Pemakaian
kata-kata dalam bahasa sendiri daripada kata-kata dalam bahasa asing.
Kata-kata asing dapat digunakan hanya kalau memang istilah itu sangat teknis
sifatnya sehingga tidak (belum) ada istilah/kata yang pas dalam bahasa
indonesia.
2. Ketepatan
(accuracy)
Karangan ilmiah menjujung tinggi keakuratan. Hasil
penelitian ilmiah dan cara penyajian hasil penelitian itu haruslah tepat/akurat.
Supaya karangan ilmiah menjadi sungguh-sungguh akurat, penulis/peneliti harus
sangat cermat, teliti, tidak bleh sembrono, atau ‘main-main dengan ilmu’.
Dalam penyampaiannya di dalam karangan ilmiah itu
harus terwadahi butir-butir gagasan dengan kecocokan sepenuhnya seperti yang dimaksudkan oleh peneliti/penulisnya.
Kualifikasi demikian itulah yang dimaksud dengan istilah ‘efektif-‘sangkil’.
3. Keringkasan
(brevity)
Karangan ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama
dengan pendek. Karangan yang tebalnya 500 halaman dapat dikatakan ringkas
sejauh di dalamnya tidak terdapat bentuk-bentuk kebahasaan yang bertele-tele,
kalimat-kalimat yang bertumpukan (running-on
sentences), dan sarat dengan kemubaziran dan kerancuan.
Jadi, karya ilmiah itu tidak boleh menghamburkan
kata-kata, tidak boleh mengulang-ulang ide yang telah diungkapakan, dan tidak
berputar-putar dalam mengungkapkan maksud atau gagasan. Karangan ilmiah harus
dibangun dari ide yang kaya dengan bahasa yang hemat dan sederhana. Jadi bukan
sebaliknya, ide yang miskin namun dengan bahasa berbunga-bunga.
Karangan ilmiah harus ditulis dengan hati dan diteliti
kembali, dibenahi dan diedit kembali dengan pikiran. Jadi, peganglah prinsip ’writing with heart, editing with brain’ di dalam praktik menulis karangan ilmiah.[4]
D.
Teknik
Mengatur Perwajahan Karangan
Yang
dimaksud dengan perwajahan adalah tata letak (lay out) unsur-unsur skripsi serta aturan penulisan unsur-unsur
tersebut, yang berkaitan dengan segi keindahan dan estetika naskah. Tata letak
dan penulisan unsur-unsur skripsi, tesis, atau disertasi harus diusahakan
sabaik-baiknya agar skripsi, tesis, atau disertasi tersebut tampak rapi dan
menarik. Dalam pembicaraan tentang perwajahan, dikemukakan secara ringkas
mengenai masalah kertas pola ukuran dan penomoran.
1.
Kertas Pola Ukuran
Supaya tiap halaman ketikan rapi,
sebaiknya digunakan kertas pola ukuran. Kertas pola ukuran tersebut dipasang
setiap kali mengganti halaman dan kertas pola ukuran itu harus ditaati agar
hasil ketikan tampak rapi. Jika menggunakan komputer, program-program tertentu
harus dikuasai terlebih dahulu agar format yang dikehendaki terwujud.
Pada umumnya garis pembatas pada
kertas pola ukuran tersebut diatur dengan ukuran sebagai berikut:
a)
Pias (margin) atas 4 cm,
b)
Pias bawah 3 cm,
c)
Pias kiri 4 cm, dan
d)
Pias kanan 3 cm.
2.
Penomoran
a)
Angka yang digunakan
Angka untuk
nomor yang lazim digunakan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau karangan
ilmiah umumnya adalah angka Romawi kecil, angka Romawi besar, dan angka Arab.
Angka Romawi kecil (i, ii, iii, iv, v) dipakai untuk menomori halaman judul,
halaman yang bertajuk prakata, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, daftar
lampiran, dan daftar lain (jika ada). Angka Romawi besar (I, II, III, IV, V)
digunakan untuk menomori tajuk bab pendahuluan, tajuk bab analisis, tajuk bab
simpulan, misalnya BAB I PENDAHULUAN. Angka Arab (1, 2, 3, 4, dan seterusnya)
digunakan untuk menomori halaman-halaman naskah mulai bab pendahuluan sampai
dengan halaman terakhir dan untuk menomori nama-nama tabel, grafik, histogram,
bagan, dan skema.
b)
Letak Penomoran
Halaman
judul, daftar isi, daftar tabel, daftar grafik, daftar lampiran, menggunakan
angka Romawi kecil yang diletakkan pada bagian bawah, tepat di tengah-tengah
(simetris). Halaman yang bertajuk bab pendahuluan, bab analisis, bab simpulan,
daftar pustaka/rujukan, indeks, dan lampiran, menggunakan angka Arab yang
diletakkan pada bagian bawah, tepat di tengah-tengah (simetris).
Halaman-halaman naskah lanjutan menggunakan angka Arab yang diletakkan pada
bagian kanan atas.
c)
Penomoran Subbab
Subbab
dan subsubbab dinomori dengan angka Arab sistem digital. Angka terakhir dalam
digital ini tidak diberi titik (seperti 1.1, 1.2, 2.1, 1.1.2, 2.2.3, 3.2.1, dan
seterusnya). Dalam hubungan ini, angka digital tidak lebih dari tiga angka (maksimal,
misalnya 1.1.1, 1.4.3, 1.1.2, 3.2.2, 3.3.3, 4.4.1), sedangkan penomoran
selanjutnya menggunakan a, b, c, kemudian 1), 2), 3), selanjutnya a), b), c),
dan seterusnya.[5]
Artikel
berbentuk feature dapat lebih
dinikmati, kalau artikel tersebut diberi ilustrasi. Lebih-lebih bila isinya
mengenai sesuatu keilmuan atau petunjuk teknis. Informasi akan menjenuhkan bila
diungkapkan dengan kata, karena bertele-tele, lebih baik disajikan berupa
gambar ilustrasi.
Ilustrasi
memang gambar, tetapi tidak hanya gambar tangan yang dibuat dengan pensil, ballpen atau tinta Cina saja, melainkan
dapat juga berupa foto jepretan lensa, gambar pandangan pancungan, peta, denah,
bagan dan diagram.[6]
E.
Aspek
Penalaran dalam Karya Ilmiah
Suatu
karangan sesederhana apapun akan mencerminkan kualitas penalaran seseorang.
Penalaran itu akan tampak dalam pola pikir penyusuan karangan itu sendiri.
Penalaran dalam suatu karangan ilmiah mencakup 5 aspek. Kelima aspek tersebut
adalah:
1. Aspek Keterkaitan
Aspek keterkaitan adalah hubungan antar bagian yang satu dengan yang lain
dalam suatu karangan. Artinya, bagian-bagian dalam karangan ilmiah harus
berkaitan satu sama lain. Pada pendahuluan misalnya, antara latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat harus berkaitan. Rumusan masalah juga harus berkaitan dengan bagian
landasan teori, pembahasan, dan harus berkaitan juga dengan kesimpulan.
2.
Aspek Urutan
Aspek urutan adalah pola urutan tentang suatu yang
harus didahulukan atau ditampilkan kemudian (dari hal yang paling mendasar ke
hal yang bersifat pengembangan). Suatu karangan ilmiah harus mengikuti urutan
pola pikir tertentu. Pada bagian Pendahuluan, dipaparkan dasar-dasar berpikir
secara umum. Landasan teori merupakan paparan kerangka analisis yang akan
dipakai untuk membahas. Baru setelah itu persoalan dibahas secara detail dan
lengkap. Di akhir pembahasan disajikan kesimpulan atas pembahasan sekaligus
sebagai penutup karangan ilmiah.
3. Aspek
Argumentasi
Yaitu bagaimana hubungan bagian yang menyatakan fakta,
analisis terhadap fakta, pembuktian suatu pernyataan, dan kesimpulan dari hal
yang telah dibuktikan. Hampir sebagian besar isi karangan ilmiah menyajikan
argumen-argumen mengapa masalah tersebut perlu dibahas (pendahuluan),
pendapat-pendapat atau temuan-temuan dalam analisis harus memuat
argumen-argumen yang lengkap dan mendalam.
4. Aspek Teknik
Penyusunan
Yaitu bagaimana pola penyusunan yang dipakai, apakah
digunakan secara konsisten. Karangan ilmiah harus disusun dengan pola penyusunan
tertentu, dan teknik ini bersifat baku dan universal. Untuk itu pemahaman
terhadap teknik penyusunan karangan ilmiah merupakan syarat multak yang harus
dipenuhi jika orang akan menyusun karangan ilmiah.
5. Aspek Bahasa
Yaitu bagaimana penggunaan bahasa dalam karangan
tersebut? baik dan benar? Baku? Karangan ilmiah disusun dengan bahasa yang
baik, benar dan ilmiah. Penggunaan bahasa yang tidak tepat justru akan
mengurangi kadar keilmiahan suatu karya sastra lebih-lebih untuk karangan
ilmiah akademis.[7]
F.
Penalaran
Deduktif dan Induktif
1. Penalaran
Deduktif
Penalaran
deduktif dapat diartikan sebagai suatu proses berpikir di mana orang memulai
dari pernyataan yang umum menuju pernyataan yang khusus (spesifik) dengan
menggunakan aturan-aturan logika yang dapat diterima. Penalaran ini merupakan
suatu sistem yang digunakan untuk mengorganisir fakta-fakta yang telah
diketahui guna membuat suatu kesimpulan. Proses ini dilakukan melalui
serangkaian pernyataan yang disebut silogisme, yang berisi premis mayor, premis
minor dan kesimpulan. Contoh:
(a) Semua
manusia pasti mati (premis mayor)
(b) Scorates
adalah seorang manusia (premis minor)
(c) Scorates
pasti mati (kesimpulan)[8]
Penarikan
kesimpulan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Dikatakan
penarikan kesimpulan secara langsung bila ditarik dari satu premis, sedangkan
bila ditarik dari dua premis disebut secara tidak langsung.
a. Menarik
Kesimpulan secara Langsung
1) Konversi
Konversi merupakan penarikan kesimpulan secara
langsung dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
(a) Subjek
premis menjadi predikat kesimpulan.
(b) Predikat
premis menjadi subjek kesimpulan.
(c) Kualitas
premis sama dengan kualitas kesimpulan.
(d) Term
yang tidak tersebar dalam premis juga tidak tersebar dalam kesimpulan.
Pada proposisi universal afirmatif, polanya adalah
semua S adalah P (premis) dan sebagian P adalah S (kesimpulan).
Contoh:
Semua
kursi untuk tempat duduk. (premis)
Sebagian
tempat duduk adalah kursi. (kesimpulan)
Pada proposisi universal negatif, polanya adalah tak satupun
S adalah P (premis) dan tak satupun P adalah S (kesimpulan).
Contoh:
Tak
satupun gajah adalah serangga. (premis)
Tak
satupun serangga adalah gajah. (kesimpulan)
Pada proposisi
khusus afirmatif, polanya adalah sebagian S adalah P (premis) dan sebagian P
adalah S (kesimpulan).
Contoh:
Sebagian
pegawai adalah orang yang jujur. (premis)
Sebagian
orang yang jujur adalah pegawai. (kesimpulan)
Pada konversi,
penarikan kesimpulan tidak dapat dilakukan dengan proposisi khusus negatif.
2) Oversi
Oversi merupakan
cara penarikan kesimpulan secara langsung dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
(a) Subjek
premis sama dengan subjek kesimpulan.
(b) Predikat
kesimpulan kontradiktori dengan predikat premis.
(c) Kualitas
kesimpulan kebalikan dari kualitas premis.
(d) Kuantitas
kesimpulan sama dengan kuantitas premis.
Pada proposisi universal
afirmatif, polanya adalah semua S adalah P (premis) dan tidak satupun S
adalah tak P (kesimpulan).
Contoh:
Semua rudal adalah senjata
berbahaya.
Tak satupun rudal yang bukan
senjata berbahaya.
Pada proposisi universal
negatif, polanya adalah tidak satupun S adalah P (premis) dan semua S
adalah tak P (kesimpulan).
Contoh:
Tidak satupun mahasiswa laki-laki
lulus ujian.
Semua yang lulus bukan mahasiswa
laki-laki.
Pada proposisi khusus
afirmatif, polanya adalah sebagian S tidaklah P (premis) dan sebagian S
tidaklah P (kesimpulan).
Contoh:
Beberapa peserta demonstrasi adalah
mahasiswa.
Beberapa peserta demonstrasi adalah
bukan mahasiswa.
Pada proposisi khusus
negatif, polanya adalah sebagian S tidaklah P (premis) dan sebagian S
adalah P (kesimpulan).
Contoh:
Sebagian mobil adalah bukan barang
impor.
Sebagian mobil adalah barang impor.
3) Kontraporsisi
Kontraporsisi
merupakan jenis pengambilan kesimpulan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
(a) Subjek
kesimpulan adalah kontradiktori predikat premis.
(b) Predikat
kesimpulan adalah subjek premis.
(c) Kualitas
kesimpulan tidak sama dengan kualitas premis.
(d) Tidak
ada term yang tersebar.
Pada proposisi universal
afirmatif, polanya adalah semua S adalah P (premis), tidak satupun S adalah
tak P (kesimpulan) dan tidak satupun tak P adalah S (kesimpulan).
Contoh:
Semua gajah adalah berbelalai.
Tidak satupun gajah adalah tak
berbelalai.
Tidak satupun (yang) tak berbelalai
adalah gajah.
Pada proposisi universal
negatif, polanya adalah tidak satupun S adalah P (premis), semua S adalah
tak P (kesimpulan) dan sebagian tak P adalah S (kesimpulan).
Contoh:
Tak seorangpun pejabat miskin.
Semua pejabat tak miskin.
Sebagian yang tak miskin adalah
pejabat.
Pada proposisi khusus
negatif, polanya adalah sebagian S tidaklah P (premis), sebagian S adalah P
(kesimpulan) dan sebagian tak P adalah S (kesimpulan).
Contoh:
Sebagian jembatan bukan besi.
Sebagian jembatan tak besi.
Sebagian yang tak besi adalah
jembatan.
b. Menarik
Kesimpulan secara Tidak Langsung
1) Silogisme
Kategorial
Silogisme
kategorial terdiri atas dua proposisi sebagai premis dan satu proposisi sebagai
kesimpulan. Premis yang bersifat umum disebut premis mayor, sedangkan yang bersifat khusus disebut premis minor. Adapun dalam kesimpulan
terdapat subjek dan predikat. Subjek kesimpulan disebut term minor, sedangkan predikat kesimpulan disebut term mayor.
Contoh:
Semua
binatang berjenis jantan dan betina (premis mayor)
Sapi
adalah binatang (premis minor)
Jadi,
sapi berjenis jantan dan betina (kesimpulan)
2) Silogisme
Hipotesis
Silogisme
hipotesis merupakan bentuk silogisme yang terdiri atas premis mayor yang
berproposisi kondisional hipotesis. Pada silogisme hipotesis ini, bila premis
mayornya membenarkan anteseden, maka kesimpulannya akan membenarkan konsekuen.
Bila premis minornya menolak anteseden, maka kesimpulannya akan menolak
konsekuen.
Contoh:
Jika
kertas dibakar, kertas akan hangus.
Kertas
dibakar.
Jadi,
kertas hangus.
Jika
kertas dibakar, kertas akan hangus.
Kertas
tidak dibakar.
Jadi,
kertas tidak akan hangus.
3) Silogisme
Alternatif
Silogisme
alternatif ditandai dengan premis mayor alternatif. Jika premis minornya
membenarkan salah satu alternatif, kesimpulannya akan menolak alternatif yang
lain.
Contoh:
Dia
seorang guru atau pengusaha.
Dia
seorang guru.
Jadi,
dia bukan seorang pengusaha.
Dia
seorang guru atau pengusaha.
Dia
bukan seorang guru.
Jadi,
dia seorang pengusaha.
4) Entimen
Biasanya,
silogisme jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, dalam
penarikan kesimpulan tidak mengeksplisitkan premis mayor. Hal ini dikarenakan
oleh telah diketahuinya sifat dalam premis mayor tersebut. Dengan demikian,
yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan.
Contoh:
Semua
peserta upacara ikut berbaris.
Raehani
adalah peserta upacara.
Jadi,
Raehani ikut berbaris.
Dalam
berkomunikasi sehari-hari, contoh silogisme di atas lebih banyak diungkapkan
dalam entimen demikian: “Raehani ikut
berbaris karena peserta upacara.” atau “Karena
sebagai peserta upacara, Raehani ikut berbaris.”
2. Penalaran
Induktif
Penalaran
induktif merupakan penalaran yang bertolak dari pernyataan-pernyataan khusus
(premis) untuk menghasilkan kesimpulan yang umum. Beberapa bentuk penalaran
induktif adalah sebagai berikut:
a. Generalisasi
Generalisasi merupakan proses penalaran yang betumpu pada beberapa pernyataan yang mempunyai sifat tertentu untuk menghasilkan kesimpulan umum.
Generalisasi merupakan proses penalaran yang betumpu pada beberapa pernyataan yang mempunyai sifat tertentu untuk menghasilkan kesimpulan umum.
Contoh:
Jika
dipanaskan, kawat memuai.
Jika
dipanaskan, tembaga memuai.
Jika
dipanaskan, besi memuai.
Jadi,
jika dipanaskan, benda logam memuai.
b. Analogi
Analogi
merupakan proses penalaran dengan cara membandingkan dua hal yang mempunyai
sifat yang sama atau yang memiliki kemiripan dalam hal-hal tertentu. Apa yang
berlaku pada hal yang satu akan berlaku juga pada hal yang lain karena dua hal
tersebut memiliki kemiripan.
Misalnya
seorang pernah membeli jeruk. Waktu itu, dia harus memilih dengan saksama untuk
mendapatkan jeruk yang manis, bahkan harus mencicipinya pula. Akhirnya memang
mendapatkan jeruk yang manis dan dicermatilah karakter jeruk itu dari segi
fisiknya. Kulit jeruk agak kekuningan, teraba agak tipis dan sedikit lembek.
Pada saat yang lain dia membeli jeruk lagi. Kali ini tidak harus memilih jeruk
dengan susah payah. Dia dapat menetapkan jeruk di hadapannya itu manis atau
masam hanya dengan menggunakan rujukan karakter jeruk yang pernah dibelinya.
Cara demikian berbentuk analogi.
c. Hubungan
Kausal
Hubungan
kausal adalah bentuk penalaran dengan cara mengaitkan gejala-gejala yang saling
berhubungan dalam hukum kausalitas. Penalaran dalam bentuk hubungan kausal ini
dapat bertolak dari sebab ke akibat atau dari akibat ke sebab.
Misalnya,
bila kita bakar kayu tentu akan muncul asap (sebab-akibat). Bila dari kejauhan
kita tahu ada asap membumbung ke angkasa, maka kita bisa menyimpulkan bahwa di
bawahnya terdapat api (akibat-sebab).[9]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Karya
ilmiah adalah laporan tertulis dan dipublikasi yang memaparkan hasil penelitian
atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan
memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat
keilmuan.
2. Penulisan
karya ilmiah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas, tepat, formal dan lugas dengan
menggunakan kata dan istilah yang jelas dan tepat, kalimat yang tidak
berbelit-belit dan struktur paragraf yang runtut.
3. Asas-asas
penyusunan gagasan dalam karya ilmiah meliputi kejelasan, ketepatan dan keringkasan.
4. Yang
dimaksud dengan perwajahan adalah tata letak (lay out) yang berkaitan dengan segi keindahan dan estetika naskah.
Dalam hal ini dikemukakan secara ringkas mengenai masalah kertas pola ukuran
dan penomoran.
5. Aspek-aspek
penalaran dalam karya ilmiah meliputi aspek keterikatan, urutan, argumentasi,
teknik penyusunan dan aspek bahasa.
6. Penalaran
deduktif merupakan proses berfikir dari pernyataan yang umum menuju pernyataan
yang khusus. Sedangkan penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran
deduktif yaitu dari hal yang khusus menuju ke hal yang umum.
B.
Saran
Dengan
diselesaikannya makalah ini penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan
dan pengetahuan pembaca. Selanjutnya penulis juga mengharapkan kritik dan saran guna
peningkatan kualitas dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Dalman. Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Fauzi, Asep. “Penulisan Karya
Ilmiah”. (http://asep-fauzi.blogspot.com/2011/12/makalah-tentang-penulisan-karya-ilmiah.html,
diakses tanggal 20 November 2014).
Hartono. Bagaimana Menulis Tesis. Malang: UMM Press, 2009.
Mujianto, Gigit. Bahasa Indonesia. Malang: UMM Press, 2010.
Nurita. “Konsep Penalaran Ilmiah dalam Penulisan Ilmiah”. (http://nurii-thaa.blogspot.com/2014/03/konsep-penalaran-ilmiah-dalam-penulisan.html,
diakses tanggal 18 November 2014).
Rahardi, Kunjana. Bahasa Indonesia
untuk Perguruan Tinggi.
Jakarta: Erlangga, 2009.
Revisi, Tim. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Kediri: Stain Press, 2009.
Soeseno,
Slamet. Teknik Penulisan Imliah Populer.
Jakarta: Gramedia, 1984.
[1] Dalman, Menulis Karya Ilmiah (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 5.
[2] Ibid., 9.
[3] Tim Revisi, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Kediri: Stain Press, 2009), 16-17.
[4] Kunjana Rahardi, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
(Jakarta: Erlangga, 2009), 144-145.
[5] Asep Fauzi, “Penulisan Karya
Ilmiah”, http://asep-fauzi.blogspot.com/2011/12/makalah-tentang-penulisan-karya-ilmiah.html, diakses tanggal 20 November
2014.
[6] Slamet Soeseno, Teknik Penulisan Imliah Populer
(Jakarta: Gramedia, 1984), 90.
[7]
Nurita, “Konsep Penalaran Ilmiah dalam Penulisan
Ilmiah”, http://nurii-thaa.blogspot.com/2014/03/konsep-penalaran-ilmiah-dalam-penulisan.html,
diakses tanggal 18 November 2014.
[8] Hartono, Bagaimana Menulis Tesis (Malang: UMM Press, 2009), 3-4.
[9] Gigit Mujianto, Bahasa Indonesia (Malang: UMM Press,
2010), 26-31.
Hoby Main TOGEL/POKER/BOLA? Ayo Gabung di HALOTOTO
BalasHapus* Bonus New Depo 10 rb
* Bonus TO 0.5%
* Bonus Reff 20%
* Discount Togel
4D : 66 % |X3000
3D : 59 % |X400
2D : 29 % |X70
* HOT PROMO BERLAKU SEMUA PASARAN
PROMO JP NOMOR HP :
4D NO HP : 3000.000
3D NO HP : 500.000
2D NO HP : 100.000
LINK DAFTAR Togel : WWW. REJEKIKIaTA .COM
LINK DAFTAR POKER : WWW. HLOQQ. INFO
Info Lanjut :
WA:+62 853-1157-2784
BBM:E35CCA80