Sabtu, 22 Agustus 2015

1. Ulumul Hadis- Laporan Penelitian Hadis




WANITA YANG BERPUASA TANPA SEIZIN SUAMINYA
LAPORAN PENELITIAN HADITS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Hadits
Dosen pengampu KH. Mohammad Bakir, M.Fil.I. 

Disusun Oleh :
Nur Azizah                                          (931332014)
Mega Lestari                                       (931332414)
Dhiya Ulhaq Tsumaamah                    (931332614)
Durrotul Masturin                               (931332714)


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2014

KATA PENGANTAR

            Segala puji bagi Allah SWT berkat rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga laporan penelitian hadits ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Adapun tujuan dari laporan penelitian hadits ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan penelitian hadits ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bimbingan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.   Dosen mata kuliah Ulumul Hadits, yang telah memberi ilmu dan pengarahan dalam laporan penelitian hadits ini.
2.   Bapak dan Ibu yang telah memberikan doa sehingga laporan penelitian hadits ini dapat terselesaikan.
3.   Sahabat-sahabat yang telah membantu dalam penyelesaian laporan penelitian hadits ini.
   Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sebagai balasan atas amal baik dari semua pihak yang telah disebutkan di atas.
Sadar akan kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki, kami mohon maaf jika ada penulisan yang kurang berkenan di hati bapak dosen dan juga pembaca. Saran dan kritik sangat kami harapkan untuk kesempurnaan laporan penelitian hadits kami selanjutnya. Semoga laporan penelitian hadits ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.


     Kediri, 15 Desember 2014



Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui agama Islam mempunyai lima rukun Islam yang salah satunya ialah puasa, yang mana puasa termasuk rukun Islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk rukun Islam jadi, semua umat Islam wajib melaksanakannya namun pada kenyataannya banyak umat Islam yang tidak melaksanakannya, karena apa? Itu semua karena mereka tidak mengetahui manfaat dan hikmah puasa. Bahkan, umat muslim juga masih banyak yang tidak mengetahui pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan baik dan benar.
 Banyak orang-orang yang melakasanakan puasa hanya sekedar melaksanakan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya, pada saat mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala. Puasa terbagi menjadi dua yaitu puasa wajib dan puasa sunnah, dalam makalah ini kami akan membahas aturan-aturan dalam berpuasa khususnya mengenai puasa seorang istri yang wajib untuk meminta izin pada suaminya yang termasuk dalam kategori puasa sunnah.
Kewajiban seorang istri adalah ta’at kepada setiap perintah suami dalam perkara-perkara yang baik dan tidak boleh melakukan sesuatu hal tapa izin suaminya, kecuali dalam melakukan suatu ibadah yang wajib baginya. Karena adanya kewajiban tersebutlah, maka ketika istri akan melakukan ibadah puasa sunnah, entah itu puasa senin-kamis, puasa tiga hari dalam pertengahan bulan, dan puasa sunnah lainnya kecuali puasa wajib pada bulan Ramadhan. Istri hendaklah meminta izin kepada suaminya, apalagi ketika suami sedang berada di rumah.
Hal ini dikarenakan melayani suami adalah perkara wajib yang keberadaannya dibawah puasa sunnah yang tidak mengapa apabila seseorang tidak melakukannya karena ada udzur syar’i, apalagi karena ada perkara yang lebih wajib dan utama selain perkara sunnah tersebut. Menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.
Dalam melaksanakan puasa Sunnah, ada suatu aturan yang mesti diperhatikan oleh wanita muslimah. Aturan yang dimaksud adalah ia harus meminta izin pada suaminya ketika ingin menjalankan puasa sunnah.
Ada beberapa hadits yang dijadikan sebagai dalil kewajiban bagi seorang istri yang akan berpuasa untuk meminta izin dulu kepada suaminya yang akan kita bahas dalam laporan penelitian hadits ini. Salah satunya yakni yang kami ambil dari Al-Qur’an surat al-Muhalla ayat 453:

لا يحل لذات الزوج أن تصوم تطوعاً بغير إذنه، فإن كان غائباً لا تقدر على استئذانه أو تعذّر، فلتصم بالتطوّع إن شاءت

“Tidak halal bagi wanita yang bersuami untuk melakukan puasa sunah tanpa izin suaminya. Jika suami tidak ada, sehingga dia tidak bisa meminta izin, dia boleh berpuasa sunah, jika dia menginginkannya.”

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana i’tibar hadits mengenai hadits tersebut?
2.      Bagaimana hadits kewajiban bagi seorang istri yang akan berpuasa untuk meminta izin dulu kepada suaminya?
3.      Bagaimana skema hadits mengenai hadits tersebut?
4.      Bagaimana takhrij hadits mengenai hadits tersebut?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui i’tibar hadits tersebut.
2.      Untuk mengetahui hadits kewajiban bagi seorang istri yang akan berpuasa untuk meminta izin dulu kepada suaminya.
3.      Untuk mengetahui skema dan takhrij hadits tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    I’tibar Hadits
Hadist ini tentang seorang wanita yang berpuasa tanpa seizin suaminya. Hadist ini ditemukan dalam riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam kitab Sunan Abu Daud, hadist ini ditemukan pada halaman 549 nomor hadist 72 yang menjelaskan tentang bab seorang wanita yang berpuasa tanpa izin dari suaminya. Dan dalam kitab Ibnu Majah hadist ini ditemukan pada halaman 255 dengan nomor hadist 597 yang menjelaskan tentang bab seorang wanita yang berpuasa tanpa izin dari suaminya.
Dalam kamus Al-Mu’jam Al-Mufahros Juz 3, hadist ini ditemukan pada halaman 45 dengan kata kunci ( صوم ).

B.     Hadits Kewajiban Bagi Seorang Istri yang akan Berpuasa untuk Meminta Izin Dahulu kepada Suaminya

DALAM KITAB SUNAN ABI DAUD
WANITA BERPUASA TANPA IZIN SUAMINYA

 (٧٣) باب المراة تصوم بغير اذن زوجها
(٢٤٥٨) حدثنا الحسن بن علي , ثنا عبد الر زاق , ثنا معمر , عن همام بن منبه انه سمع ابا هريرة يقول : قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا تصوم المراة وبعلها شاهد الا باءذنه , غير رمضا ن , ولا تأ ذ ن في بيته وهو شاهد إلا بإ ذ نه ))[1]
Artinya :
Dari Abi Hurairah R.A. dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “ Seorang wanita, tidak boleh berpuasa, sedang suaminya ada, kecuali dengan seizinnya, kecuali puasa Ramadhan. Dan dia tidak boleh mengizinkan orang lain memasuki rumah suaminya, sedang suaminya ada, kecuali dengan seizin suaminya”.

DALAM KITAB SUNAN IBNU MAJAH
WANITA BERPUASA TANPA IZIN SUAMINYA

باب المرأة تصوم بغير إذن زوجها
(٦٠٢) حدثنا محمد بن يحيى ثنا ثحيى بن حما د ثنا ابو عوانة عن سليمان هو الأعمش عن ابي صا لح عن ابي سعيد الخدري قال : نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم (١) النسأ ان يصمن إلا بإذن أزواجهن قلت : له شاهد في الصحيحين من حديث ابي هريرة وهذا محمول على صوم النفل , ويؤ يد ذالك ما رواه أصحاب السنن من حديث أبي هريرة : (( لا تصوم المرأة وزوجها شاهد يوما من غير شهر رمضان إلا بإذنه )), وكذا رواه ابن حبان في صحيح علي سرط البخاري وروي الحاكم نحو في مستدركه عن علي بن حمشاد ثنا مسد د بن قطن ثنا عثما ن بن ا بي شيبة ثنا جر ير عن الا عمش به[2]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad Bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya Bin Hammad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu awanah dari Sulaiman dari Abu Shalih dari Abu Sa’id “Rasulullah SAW para wanita berpuasa kecuali dengan seizin para suaminya” dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, beliau bersabda “ Seorang wanita tidak boleh berpuasa ketika suaminya ada (dirumah) tanpa seizinnya, kecuali puasa Ramadhan.




C.    Skema Hadits

 



D.    Takhrij Hadits
1.         I’tibar al-Sanad
I’tibar al-Sanad dilakukan untuk memperhatikan seluruh jalur sanad yang diteliti, nama-nama perawi, dan metode periwayatan yang digunakan, sehingga dapat diketahui sanad hadis seluruhnya.
Hadits-hadits tentang puasa wanita tanpa izin suaminya dalam kitab Sunan Abi Daud melibatkan 6 orang perawi, satu di antaranya berstatus mukharrij, keseluruhan dari para perawi-perawi ini terdapat dalam Sunan Abi Daud, berikut rinciannya:
a.         Abu Hurairah Abdurrahman ibn Shakhr
b.        Hammam ibn Munabbah Al-Yamaani
c.         Ma’mar ibn Rasyiid Al-Azadi
d.        Abdurrazzaaq ibn Hammam
e.         Hassan Bin Ali
f.         Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani (Abi Daud).
Metode yang digunakan setiap perawi bervariasi, yaitu menggunakan lafazh haddasana, ‘an dan qala. Variasi lambang periwayatan tersebut menandakan adanya perbedaan metode periwayatan hadis yang dipakai oleh para perawi hadits ini.
2.         Identitas dan status para perawi (Kritik Sanad).
Dari skema yang digambarkan sebelumnya. Dapat diketahui secara jelas para perawi yang terlihat dalam periwayatan hadis-hadis tersebut. Kemudian untuk mengetahi secara detil identitas dan status setiap perawi, maka penulis menggunakan beberapa kitab rijal al-hadits, yaitu Tahzib al-Tahzib dan Taqrib al-Tahzib (karya Ibnu Hajur Al-Asqalani).
Pada hal ini, kami membuat matrik masing-masing perawi dari beberapa jalur periwayatan tersebut dalam beberapa bagian, yaitu:
a.         Nomor perawi hadits (Numrah)
b.        Nama perawi atau mukharrij (ism al-rawi aw al-mukharrij)
c.         Nama Panggilan (al-kunniyah) atau gelar (al-laqb)
d.        Guru-guru perawi (rawa ’an)
e.         Murid-murid perawi (rawa ‘anhu)
f.         Tempat tinggal perawi (bilad al-iqamah wa al-maskan)
g.        Generasi perawi (al-thabaqah)
h.        Penilaian ulama terhadap perawi (al-jarh wa al-ta’dil li al-rawi)
i.          Tahun wafat dan umur perawi (tarikh al-wafah wa al-‘umr)
j.          Sumber rujukan atau referensi (al-mashadir)
Dengan demikian, dapat dilacak kualitas hadis tersebut dari segi sanad-nya, apakah berstatus shahih, hasan maupun dha’if, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Ash-Shalah yang dikutip Al-Khatib tentang beberapa rumus ke-shahih-an hadis yaitu:
a.         Kontinuitas sanad dari Nabi saw. sampai kepada mukharrij-nya (diketahui melalui guru, murid, tempat tinggal, generasi, tahun wafat, dan umur perawi).
b.        Para perawinya dinilai memiliki ‘adalah dan dabt yang diistilahkan dengan tsiqah (diketahui melalui penilaian ulama hadis).
c.         Terhindar dari kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illah), khusus untuk matan.
3.         Para Periwayat Hadits
a.         Abu Hurairah
a)        Nama dan Hidupnya
Nama lengkapnya Abdurrahman Ibn Shakhr Ad-Dausi Al-Yamani, tapi lebih mahsyur dengan sebutan Abu Hurairah. Ia wafat pada tahun 58 H pada usianya yang ke-78 tahun. Ia seorang sahabat rasul yang termasuk paling banyak meriwayatkan hadits.
b)        Komentar Ulama
°            Menurut Al-Waqidi ia adalah orang yang jujur.
°            Al-Bukhari berkata: “Banyak perawi yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah kira-kira delapan ratus orang atau lebih dari kalangan ahli ilmu, sahabat-sahabat Nabi serta tabi’in dan lain-lain.”
b.        Hammam ibn Munabbih
a)        Nama dan Hidupnya
Ia mempunyai nama lengkap Hammam ibn Munabih ibn Kamil ibn Syaikh Al-Yamani. Meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Mu’awiyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan lain-lain. Dikatakan bahwa ia meninggal pada tahun 131 H.
b)        Komentar Ulama
°            Ishaq ibn Manshur dari Ibnu Mu’in berkata: “Ia (Hammam ibn Munabih) orang yang tsiqah.”
°            Ibnu Hibban mengkategorikannya ke dalam kumpulan orang-orang tsiqah.
°            Al-Ajali berkata: “Hammam adalah tabi’in yang tsiqah.”
c.         Ma’mar
a)        Nama dan Hidupnya
Ia mempunyai nama lengkap Ma’mar ibn Rasyid Al-Azadi Al-Bashari. Perawi ini meriwayatkan hadits dari Tsabit Al-Bannani, Abdurrazaq ibn Hammam, Qatadah, Az-Zuhri, ‘Ashim Al-Ahwal dan lain-lain. Wafat pada tahun 152 H.
b)        Komentar Ulama
°            Abdurrazaq berkata: “Semua hadits yang dibacakan oleh Ma’mar ibn Rasyid sungguh membekas di hatiku (yanqusyu fi shadri).”
°            Ad-Dauri menceritakn dari Ibnu Mu’in: “Ma’mar termasuk kategori orang-orang yang paling tsabit (min atsbat an-naas).”
°            ‘Amr ibn Ali mengatakan bahwa ia orang yang sangat jujur(ashdaq).
°            Menurut Mu’awiyah, Ma’mar termasuk orang tsiqah.
°            An-Nasa’i berkata tentang Ma’mar: “Perawi yang tsiqah dan terpercaya (ma’mun).”
d.        Abdurrazaq
a)        Nama dan Hidupnya
Perawi ini mempunyai nama lengkap Abdurrazaq ibn Hammam ibn Nafi’, tapi ia lebih dikenal dengan sebutan Abu Bakar Ash-shan’ani. Meriwayatkan hadits dari Hammam ibn Nafi’(ayahnya), Wahab (pamannya), Ma’mar, ‘Ubaidillah ibn Umar dan lain-lain. Ia wafat pada tahun 211 H.
b)        Komentar Ulama
°            Ahmad ibn Sholih Al-Mishri bertanya pada Ahmad ibn Hambal,”Apakah ada orang yang lebih baik dalam meriwayatkan hadits selain Abdurrazaq?” Ia pun berkata,”Tidak ada.”
°            Abu Zar’ah Ad-Dimisyqi berkata: ”Ia seorang tsiqah.”
°            Ibnu Asy-Syadzakwani berkata: “Ia termasuk dari orang-orang yang paling kuat ingatannya.”
°            Ibnu ‘Adi berkata: “Ia orang yang mempunyai banyak karangan dan meriwayatkan banyak hadits.”
°            Ibnu Hibban juga memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang tsiqah.
e.         Hasan Bin Ali
a)        Nama dan Hidupnya
Hasan bin Ali bin Abu Thalib (Bahasa Arab: حسن بن علي بن أﺑﻲ طالب) (c. 625669) adalah anak dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, dan cucu pertama dari Muhammad. Menurut hampir seluruh sekte Syi'ah, Ia merupakan Imam kedua, sedangkan sekte lainnya menyebut bahwa Imam kedua adalah saudaranya Husain bin Ali. Walaupun begitu, ia merupakan salah seorang figur utama baik dalam Sunni dan Syi'ah karena ia merupakan Ahlul Bait dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga sangat dihormati kaum Sufi karena menjadi Waliy Mursyid yang ke 2 setelah ayah beliau terutama bagi tarekat Syadziliyyah.
b)        Komentar Ulama
°            Menurut komentar para ulama, Al-Hasan Ibn Ali adalah orang yang dapat dipercaya “Shiddieq” dan kuat ingatannya. “tsiqqoh”.
f.         Sunan Abi Daud
a)        Nama dan Hidupnya
Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani. Beliau adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab sunan. Beliau dilahirkan tahun 202 H di Sijistan. Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang ke berbagai negeri.
Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-raannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan. Abu Dawud sudah berulang kali mengunjungi Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain: 1. Kitab as-Sunan, 2. Kitab al-Marasil, 3. Kitab al-Qadar, 4. An-Nasikh Wal Mansukh, 5. Fada'ilul A’mal, 6. Kitab az-Zuhud, 7. Dalailun Nubuwah, 8. Ibtida’ul Wahyu dan  9. Ahbarul Khawarij.
Di antara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as-Sunan, yang biasa dikenal dengan Sunan Abu Dawud.
b)        Kumentar Ulama
°            Al-Hafiz Musa bin Harun berkata: "Abu Dawud diciptakan di dunia untuk Hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari dia."
°            Sahal bin Abdullah at-Tastari, seorang sufi yang alim mengunjungi Abu Dawud dan berkata: "Saya adalah Sahal, datang untuk mengunjungimu." Abu Dawud menyambutnya dengan hormat dan mempersilakan duduk. Lalu Sahal berkata: "Abu Dawud, saya ada keperluan." Dia bertanya: "Keperluan apa?" Sahal menjawab: "Nanti saya katakan, asalkan engkau berjanji memenuhi permintaanku." Abu Dawud menjawab: "Jika aku mampu pasti kuturuti." Lalu Sahal mengatakan: "Julurkanlah lidahmu yang engkau gunakan meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sehingga aku dapat menciumnya" Lalu Abu Dawud menjulurkan lidahnya kemudian dicium Sahal.
°            Ketika Abu Dawud menyusun kitab sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang Ulama hadits, berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagai-mana besi dilunakkan untuk Nabi Dawud." Ungkapan itu adalah perumpama-an bagi keistimewaan seorang ahli hadits. Dia telah mempermudah yang rumit dan mendekatkan yang jauh, serta memudahkan yang sukar.
°            Seorang Ulama hadits dan fiqih terkemuka yang bermazhab Hanbali, Abu Bakar al-Khallal, berkata: "Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani adalah Imam terkemuka pada jamannya, penggali beberapa bidang ilmu sekaligus mengetahui tempatnya, dan tak seorang pun di masanya dapat me-nandinginya.
°            Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah selalu menyanjung Abu Dawud, dan mereka memujinya yang belum pernah diberikan kepada siapa pun di masanya.Mazhab yang diikuti Abu Dawud
°            Syaikh Abu Ishaq as-Syairazi dalam Tabaqatul Fuqaha menggolong-kan Abu Dawud sebagai murid Imam Ahmad bin Hanbal. Begitu pula Qadi Abdul Husain Muhammad bin Qadi Abu Ya’la (wafat tahun 526 H) yang termaktub dalam kitab Tabaqatul Hanabilah. Penilaian ini disebabkan, Imam Ahmad adalah guru Abu Dawud yang istimewa. Ada yang mengatakan bahwa dia bermazhab Syafi’i.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jadi, berdasarkan penelitian hadist di atas, dilihat dari tersambungnya sanad, dan komentar ulama terhadap para perowihnya, hadist tentang wanita yang berpuasa tanpa seizin suaminya yang terdapat dalam kitab Sunan Abu Daud dan Ibnu Majah adalah hadist “Shahih”. Karena sanadnya tersambung dan para perowih mendapat komentar yang baik serta tidak terdapat cela di dalamnya, dan termasuk pula orang-orang yang jujur dan tidak ada kemungkinan untuk berdusta.
Selain yang telah dikemukakan sebelumnya di atas, hadist ini telah memenuhi syarat-syarat hadist shahih, yakni:
1.      Tersambungnya sanad
2.      Keadilan para perowih, yakni:
°         Islam
°         Baligh (dewasa)
°         Menjaga wibawa
3.      Kecerdasan para perowih (kuat ingatannya)
4.      Tidak terdapat keganjilan yang dapat memburukkannya
5.      Tidak ada cacat yang merusak matan hadits

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca terutama pada dosen mata kuliah Ulumul Hadits, agar pembuatan makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik. Atas kritik dan saranya, penulis ucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

الثيخ محمد مختارحسين, زواىدابن ماجه, هـ   ٨٤٠.
سعيد محمد اللحا م, سنن أبيداود, ٢٧٥ هـ.
الثيخ عاد لاحمد عبدالمرجود والثيخ علي محمد مفوض, تهذيب التهذيب في رجال الحديث, هـ  ٨٥٢.
Arifin, Bey dan Syinqithy Djamaluddin. Tarjamah Sunan Abi Daud. Semarang: Asy Syifa’, 1992.



[1] سعيد محمد اللحا م, سنن أبيداود, ٢٧٥ هـ, ٥٤٩.
[2] الثيخ محمد مختارحسين, زواىدابن ماجه, هـ   ٨٤٠, ٢٥٧.

2 komentar:

  1. Assalamu'alaikum, afwan ka izin copas yaah...
    sebelumnya jazakumullah khoir ^_^

    BalasHapus
  2. Waalaikumsalam iya sama" difahami buat pembelajaran juga yaa ^_^

    BalasHapus