Sabtu, 22 Agustus 2015

2. Ushul Fiqh-Ijma'


IJMA’

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqih
Dosen pengampu Moh. Nafik, M.HI. 

Disusun Oleh:
M. Rofiq                      (931100314)
M. Irwan Yakub R.     (931101414)
Mega Lestari                (931332414)
Rysna Nur PP              (931332914)
Nur Izzatul M              (931333914)



PRODI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015

KATA PENGANTAR

            Segala puji bagi Allah SWT berkat rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bimbingan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.   Dosen mata kuliah Ushul Fiqih, yang telah memberi ilmu dan pengarahan dalam makalah ini.
2.   Bapak dan Ibu yang telah memberikan doa sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
3.   Sahabat-sahabat yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
   Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sebagai balasan atas amal baik dari semua pihak yang telah disebutkan di atas. Sadar akan kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki, kami mohon maaf jika ada penulisan yang kurang berkenan di hati bapak dosen dan juga pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.


     Kediri, 12 Maret 2015



                                                                                                       Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum-hukum seperti sholat, puasa, jual beli dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah dalam landasan agama.
Untuk mengetahui hukum-hukum syari’at agama, para ulama telah melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum yang belum ada dalam Al-Qur’an dan hadist. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal-hal yang pada zaman Rasul SAW  tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimana hukumnya hal tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama yaitu ijma’.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dan fungsi ijma’?
2.      Apa sajakah syarat-syarat ijma’?
3.      Pa sajakah macam-macam ijma’?
4.      Bagaimana kehujjahan ijma’?
5.      Bagaimana problematika serta analisis terhadap ijma’?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Fungsi Ijma’
1)      Pengertian
a)      Secara bahasa, ijma’ mempunyai arti, yaitu:
·      Ijma’ yaitu sepakat, setuju dan sependapat.
·      Ijma’ yaitu kebulatan tekad atau niat. Seperti firman Allah SWT
فاَ جَمِعُوْااَمْرَ كُمْ وَشُرَ كَا ءَ كٌم...
            Artinya: “....karena itu bulatkan keputusan dan (kumpulkan) sekutu-sekutumu....” (QS.Yunus: 71)[1]
b)      Secara istilah
·      Ijma’ merupakan sumber kuat dalam menetapkan hukum-hukum islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam urutan sumber hukum islam.[2]
·      Ijma’ adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu.[3]
·      Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Nabi Muhammad dalam satu masa setelah beliau wafat.[4]
2)      Fungsi Ijma’
Meski Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tetapi tidak semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-Qur’an maupun hadist. Selain itu perbedaan keadaan saat turunya Al-Qur’an dengan kehidupan modern. Sehingga jika terdapat masalah baru maka diperlukan aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, saat itulah umat Islam memerlukan Ijma’ sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadist.


B.     Syarat-syarat Ijma’
1)      Kesepakatan dilakukan oleh seluruh mujtahid.
2)      Ijma’ dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
3)      Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
4)      Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW.

C.    Macam-macam Ijma’
1)      Ijma’ qauli atau ijma’ sharih. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan maupun tulisan yang terdapat persetujuan dari mujtahid pada zamannya. Ijma’ ini disebut juga ijma’ bayani atau ijma’ qothi.
2)      Ijma’ sukuti atau ijma’ ghair sharih. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid dengan cara diam tidak mengeluarkan pendapat. Ijma’ sukuti akan dikatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat di antaranya:
a)      Diamnya para mujtahid betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan.
b)      Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahan.
c)      Permasalahan yang difatwakan oleh para mujtahid tersebut adalah maslah ijtihad yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni.[5]
Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah menyatakan ijma’ sukuti sah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru merka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, artinya setuju.
3)      Ijma’ sahabat. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para sahabat.
4)      Ijma’ ahlul bait. Yaitu semua orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud ahli bait oleh mereka adalah: Fatimah, Ali, Hasan dan Husain.
5)      Ijma’ ulama Madinah. Menurut Malik bahwa yang telah yang telah diijma’i oleh ulama Madinah, wajiblah kita turuti. Tegasnya ijma’ mereka dijadikan hujjah, wajib diamalkan.[6]

D)    Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah yang wajib diamalkan, karena ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadist. Dalil-dalil yang mendukung pendapat jumhur ulama adalah:
1)      Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 115 yang artinya “Dan barang siapa yang menentang Rasul SAW sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam”. Hal ini berarti wajib mengikuti jalan-jalan orang yang beriman, yaitu para mujtahid yang menyepakati suatu hukum syara’.
2)      Hadist-hadist Nabawi yang menunjukan kemaksuman umat Islam dari kesalahan dan kesesatan, yaitu hadist yang saling menguatkan satu dengan lainnya, yang telah diterima umat, mutawatir dan dapat dipakai sebagai hujjah. Diantara hadist-hadist itu adalah:
لاَتَجْتَمِعُ اُمَّتِى عَلَى ضَلاَ لَةٍ
Artinya: “Umatku tidak akan berkumpul (ijma’) untuk suatu kesalahan.
مَنْ فَا رَ قَ الجَمَا عَةَ وَ مَا تَ
Arinya: “Barang siapa memisahkan diri dari dari jamaah, lalu mati, maka matinya itu didalam keadaan jahiliyah.
3)      Bahwa kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat, meskipun akal dan pengetahuan mereka berbeda-beda, menujukan bahwa pendapat ini jelas kebenarannya. Sebab seandainya ada dalil yang menyangkal tentang pendapat mereka maka terjadilah perselisihan di antara mereka. Adapun contoh hukum syara’ yang didasari oleh ijma’ adalah:
a)      Pengangkatan Abu Bakar Ash-Siddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW.
b)      Pembukuan Al-Qur’an.
c)      Menentukan awal bulan ramadhan dan bulan syawal.

E)    Problematika dan Analisis Ijma’
1)      Problematika
Kebanyakan ahli ushul menetapkan, bahwa ijma’ menurut makna atau ta’rif yang diberikan oleh kebanyakan ahli ushul, dipandang suatu dasar dari dasar-dasar syari’at sebagai yang sudah dijelaskan.
Akan tetapi, jika masalah ini dibahas dengan seksama, ditinjau dari segala aspeknya jelaslah bahwa: masalah menjadikan ijma’ sebagai dasar agama, atau hujjah, bukanlah masalah yang disepakati. Banyak diantara ulama mujtahidin walaupun mereka membenarkan ta’rif ijma’ yang telah diterangkan, menetapkan bahwa ijma’ yang seperti itu tidak mungkin terjadi.
Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa “kemungkinan terjadinya ijma’ sesudah masa sahabat tidak dapat diterima lagi karena para ulama Islam telah bertebaran sampai ke pelosok. Mengumpulkan mereka itu untuk mencapai kata sepakat (ijma’) bukanlah suatu hal yang mudah lagi, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil dan belum pernah kita dengar bahwa mereka seluruhnya telah berkumpul di kota itu untuk menyepakati sesuatu hukum. Bahkan Imam Ahmad itu mengingkari terjadinya ijma’ yang diartikan dengan arti ahli ushul di masa sahabat sendiri. Beliau mengatakan “barang siapa mengatakan berarti ia telah berdusta”. Cukuplah ia katakan “aku tak tahu ada orang yang menyalahi pendapat ini”. Karena boleh jadi telah ada yang menyalahi yang belum sampai berita ini kepadanya.
Abu Muslim Al-Ashfahani mengatakan bahwa “para ulama menetapkan bahwa ijma’ sahabat itu dipandang (diterima) ijma’ orang di belakang sahabat diperselisihi. Abu Muslim menetapkan pula, bahwa ijma sesudah sahabat tak mungkin diketahui ada/terjadi. Dia menegaskan bahwa “sukar kita mengetahui ada/terjadi ijma’ selain dari ijma’ sahabat yang masih sedikit jumlah orang-orang yang dipandang ahli ijma’.” Keadaan itu memungkinkan mereka berkumpul atau memberi persetujuan kepada sesuatu pendapat orang lain. Mereka masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal setempat, adapun sekarang sesudah Islam tersebar ke seluruh pelosok, banyak bilangan ulama, tak mungkin lagi kita meyakini ada terjadinya ijma’ (kata sepakat) diantara mereka itu. Apa yang ditetapkan Abu muslim ini itulah yang dipegang teguh oleh Ahmad yang masih dekat masanya kepada masa sahabat dan yang sangat luas hafalannya terhadap segala urusan yang dinukilkan.
Ringkasnya ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar.[7]
2)      Analisis Masalah
Pada bab ini, penyusun bermaksud untuk menganalisa permasalahan yang berhubungan dengan kemungkinan AL-Ijma’ menurut mujtahidin, dan Ijma’ tidak mungkin terjadi dalam kenyataan setelah wafatnya Rasulullah SAW.



a)      Kemungkinan untuk menguatkan dalil Ijtihad   
Di antara hal yang menguatkan bahwa Ijma’ itu tidak mungkin diwujudkan, yaitu bahwa jika Ijma’  itu diwujudkan, tentu harus disandarkan kepada dalil, karena mujtahid syar’i harus menyandarkan hasil ijtihadnya kepada dalil. Dan bila dalil yang dijadikan sandaran oleh para mujtahid (mujmi-un) itu qoth’i, maka di antara hal yang mustahil menurut adat, jika dalil itu disembunyikan. Karena bagi umat Islam tidaklah tersembunyi bagi mereka dalil syar’i yang qoth’i sampai mereka memerlulan kembali kepada para mujtahid. Dan jika ijma’ nya adalah berupa dalil zhanni tentu mustahil menurut adat (kebiasaan) Ijma’, karena dalil zhanni tidak bisa tidak, tentu menjadi objek pertentangan.
b)      Ijma’ tidak mungkin terjadi dalam kenyataan setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Terjadinya Ijma’ dalam kenyataan yang ada mengandung pernyataan: apakah Ijma’ dapat terbentuk secara nyata menurut makna tersebut pada masa-masa setelah wafat Rasulullah SAW? Jawabannya: tentu tidak ada orang yang mau melihat kepada peristiwa-peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya oleh sahabat, dan keputusan itu dianggap sebagai Ijma’, maka jadi jelas bahwa hal itu adalah Ijma’, bukan menurut makna tersebut diatas, namun hanyalah sebagai kesepakatan para hadirin dari kalangan ilmuwan atas satu hukum mengenai suatu peristiwa yang dihadapkan. Pada dasarnya ia adalah hukum yang dihasilkan oleh musyawarah jamaah, bukan dihasilkan dari pendapat perorangan.[8]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1)      Ijma’ merupakan kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist dalam suatu perkara yang terjadi. Dan merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadist.
2)      Syarat ijma’ yakni ijma’ harus berkaitan dengan hukum syara’ yang disepakati oleh seluruh mujtahid yang merupakan umat Nabi Muhammad SAW dan dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
3)      Macam-macam ijma’ antara lain ijma’ qauli, ijma’ sukuti, ijma’ sahabat, ijma’ ahlul bait, dan ijma’ ulama Madinah.
4)      Ijma’ merupakan hujjah yang wajib diamalkan karena ijma’ merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadist. Adapun dalil-dalil yang mendukung pendapat jumhur ulama diantaranya yang terdapat pada surat an-Nisa’ ayat 115 dan hadist-hadist nabawi yang menunjukkan kemaksuman umat Islam dari kesalahan dan kesesatan.
5)      Ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar.

B.     Saran
Penyusun mengharapkan sekali kepada para pembaca agar lebih mengkaji lebih jauh tentang masalah Ijma’ menurut para mujtahidin agar tidak terjadi kesalah pahaman para mujtahid. Dengan itu diharapkan agar pengertian Ijma’ telah disepakati oleh para ijtihad.


DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Mardani. Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ruhdiana, Rian Riadi. “Al-Ijma”. (https://docs.google.com/document/d/1-fDf1rS67Sy6Xko-0bHHezAgm-EpK15vCYRZveod2UE/edit?hl=in&pli=1, diakses tanggal 16 Maret 2015).
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Syafe’i, Rachmad. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Syukur, Sarmin. Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Taqwim, Ahmad. “Problematika Ijma”. (http://syaeful-amru.blogspot.com/2012/05/makalah-ushul-fiqih-tentang-ijma.html, diakses 16 Maret 2015).




[1] Sarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), 93.
[2]Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 60.
[3]Mardani, Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 146.
[4]Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 224.
[5]Rachmad Syafe’i, IlmuUshulFiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 72.
[6]Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, PengantarHukum Islam (Semarang: PT PustakaRizki Putra, 1997), 195.
[7] Ahmad Taqwim, “Problematika Ijma”, http://syaeful-amru.blogspot.com/2012/05/makalah-ushul-fiqih-tentang-ijma.html, diakses 16 Maret 2015.
[8] Rian Riadi Ruhdiana, “Al-Ijma”, https://docs.google.com/document/d/1-fDf1rS67Sy6Xko-0bHHezAgm-EpK15vCYRZveod2UE/edit?hl=in&pli=1, diakses tanggal 16 Maret 2015.


                                                                                                 

4 komentar: