IJMA’
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqih
Dosen pengampu Moh. Nafik, M.HI.
Disusun Oleh:
M. Rofiq (931100314)
M. Irwan Yakub R. (931101414)
Mega Lestari (931332414)
Rysna Nur PP (931332914)
Nur Izzatul M (931333914)
PRODI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
SWT berkat rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Sholawat serta salam kami curahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak akan berhasil
dengan baik tanpa adanya bimbingan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Dosen mata kuliah Ushul Fiqih, yang telah memberi ilmu dan
pengarahan dalam makalah ini.
2.
Bapak dan Ibu yang telah memberikan doa sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.
3.
Sahabat-sahabat yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
Semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sebagai balasan atas amal
baik dari semua pihak yang telah disebutkan di atas. Sadar akan kekurangan dan
keterbatasan yang kami miliki, kami mohon maaf jika ada penulisan yang kurang
berkenan di hati bapak dosen dan juga pembaca. Kritik dan saran sangat kami
harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Kediri, 12 Maret 2015
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu melakukan kegiatan-kegiatan
yang tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum-hukum seperti sholat, puasa,
jual beli dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak
salah arah dalam landasan agama.
Untuk mengetahui hukum-hukum syari’at agama, para ulama telah melakukan
ijtihad untuk mengetahui hukum yang belum ada dalam Al-Qur’an dan hadist. Dalam
era sekarang, banyak kita jumpai hal-hal yang pada zaman Rasul SAW tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimana hukumnya
hal tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama yaitu ijma’.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian dan fungsi ijma’?
2. Apa
sajakah syarat-syarat ijma’?
3. Pa
sajakah macam-macam ijma’?
4. Bagaimana
kehujjahan ijma’?
5. Bagaimana
problematika serta analisis terhadap ijma’?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Fungsi Ijma’
1) Pengertian
a) Secara bahasa, ijma’ mempunyai arti, yaitu:
· Ijma’ yaitu sepakat, setuju dan sependapat.
· Ijma’ yaitu kebulatan tekad atau niat. Seperti firman
Allah SWT
فاَ جَمِعُوْااَمْرَ كُمْ وَشُرَ كَا ءَ كٌم...
Artinya: “....karena itu bulatkan keputusan dan
(kumpulkan) sekutu-sekutumu....” (QS.Yunus: 71)[1]
b) Secara istilah
·
Ijma’ merupakan sumber
kuat dalam menetapkan hukum-hukum islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam urutan
sumber hukum islam.[2]
·
Ijma’ adalah
kesepakatan semua mujtahid dari ijma’
umat Nabi Muhammad dalam satu masa setelah beliau wafat.[4]
2) Fungsi
Ijma’
Meski Al-Qur’an sudah diturunkan secara
sempurna dan lengkap, tetapi tidak semua hal dalam kehidupan manusia diatur
secara detail oleh Al-Qur’an maupun hadist. Selain itu perbedaan keadaan saat
turunya Al-Qur’an dengan kehidupan modern. Sehingga jika terdapat masalah baru
maka diperlukan aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, saat itulah
umat Islam memerlukan Ijma’ sebagai
sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadist.
B.
Syarat-syarat
Ijma’
1) Kesepakatan dilakukan oleh seluruh mujtahid.
2) Ijma’ dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
3) Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
4) Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW.
C.
Macam-macam
Ijma’
1) Ijma’ qauli atau ijma’
sharih. Yaitu ijma’ yang
dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan maupun tulisan yang terdapat persetujuan
dari mujtahid pada zamannya. Ijma’
ini disebut juga ijma’ bayani atau ijma’ qothi.
2) Ijma’ sukuti atau ijma’
ghair sharih. Yaitu ijma’ yang
dikeluarkan oleh para mujtahid dengan cara diam tidak mengeluarkan pendapat. Ijma’ sukuti akan dikatakan sah apabila memenuhi
beberapa syarat di antaranya:
a)
Diamnya para mujtahid betul-betul tidak menunjukan adanya
kesepakatan atau penolakan.
b)
Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa
dipakai untuk memikirkan permasalahan.
c)
Permasalahan yang difatwakan oleh para mujtahid tersebut
adalah maslah ijtihad yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni.[5]
Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum
tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang
pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah menyatakan ijma’ sukuti sah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena
diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju
dan memandangnya keliru merka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang
dengan tegas, artinya setuju.
3) Ijma’ sahabat. Yaitu ijma’
yang dikeluarkan oleh para sahabat.
4) Ijma’ ahlul bait. Yaitu semua orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan
Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud ahli
bait oleh mereka adalah: Fatimah, Ali, Hasan dan Husain.
5) Ijma’ ulama Madinah. Menurut Malik bahwa yang telah yang
telah diijma’i oleh ulama Madinah,
wajiblah kita turuti. Tegasnya ijma’
mereka dijadikan hujjah, wajib diamalkan.[6]
D)
Kehujjahan
Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah yang wajib diamalkan, karena ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah
Al-Qur’an dan hadist. Dalil-dalil yang mendukung pendapat jumhur ulama adalah:
1) Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’
ayat 115 yang artinya “Dan barang siapa
yang menentang Rasul SAW sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam”. Hal ini berarti
wajib mengikuti jalan-jalan orang yang beriman, yaitu para mujtahid yang
menyepakati suatu hukum syara’.
2) Hadist-hadist Nabawi yang menunjukan kemaksuman
umat Islam dari kesalahan dan kesesatan, yaitu hadist yang saling menguatkan satu
dengan lainnya, yang telah diterima umat, mutawatir
dan dapat dipakai sebagai hujjah.
Diantara hadist-hadist itu adalah:
لاَتَجْتَمِعُ
اُمَّتِى عَلَى ضَلاَ لَةٍ
Artinya: “Umatku tidak akan berkumpul (ijma’) untuk
suatu kesalahan.
مَنْ فَا رَ قَ
الجَمَا عَةَ وَ مَا تَ
Arinya:
“Barang siapa memisahkan diri dari dari jamaah, lalu mati, maka matinya itu
didalam keadaan jahiliyah.
3) Bahwa kesepakatan para mujtahid di atas
satu pendapat, meskipun akal dan pengetahuan mereka berbeda-beda, menujukan
bahwa pendapat ini jelas kebenarannya. Sebab seandainya ada dalil yang menyangkal
tentang pendapat mereka maka terjadilah perselisihan di antara mereka. Adapun
contoh hukum syara’ yang didasari
oleh ijma’ adalah:
a) Pengangkatan Abu Bakar Ash-Siddiq sebagai
khalifah menggantikan Rasulullah SAW.
b) Pembukuan Al-Qur’an.
c) Menentukan awal bulan ramadhan dan bulan syawal.
E)
Problematika
dan Analisis Ijma’
1) Problematika
Kebanyakan ahli ushul menetapkan, bahwa ijma’
menurut makna atau ta’rif yang
diberikan oleh kebanyakan ahli ushul, dipandang suatu dasar dari dasar-dasar syari’at sebagai yang sudah dijelaskan.
Akan tetapi, jika masalah ini dibahas dengan seksama, ditinjau dari segala
aspeknya jelaslah bahwa: masalah menjadikan ijma’
sebagai dasar agama, atau hujjah,
bukanlah masalah yang disepakati. Banyak diantara ulama mujtahidin walaupun
mereka membenarkan ta’rif ijma’ yang
telah diterangkan, menetapkan bahwa ijma’
yang seperti itu tidak mungkin terjadi.
Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa “kemungkinan terjadinya ijma’ sesudah masa sahabat tidak dapat
diterima lagi karena para ulama Islam telah bertebaran sampai ke pelosok.
Mengumpulkan mereka itu untuk mencapai kata sepakat (ijma’) bukanlah suatu hal yang mudah lagi, bahkan hampir bisa
dikatakan mustahil dan belum pernah kita dengar bahwa mereka seluruhnya telah
berkumpul di kota itu untuk menyepakati sesuatu hukum. Bahkan Imam Ahmad itu
mengingkari terjadinya ijma’ yang
diartikan dengan arti ahli ushul di masa sahabat sendiri. Beliau mengatakan “barang siapa mengatakan berarti ia telah
berdusta”. Cukuplah ia katakan “aku
tak tahu ada orang yang menyalahi pendapat ini”. Karena boleh jadi telah
ada yang menyalahi yang belum sampai berita ini kepadanya.
Abu Muslim Al-Ashfahani mengatakan bahwa “para ulama menetapkan bahwa ijma’ sahabat itu dipandang (diterima) ijma’ orang di belakang sahabat
diperselisihi. Abu Muslim menetapkan pula, bahwa ijma sesudah sahabat tak
mungkin diketahui ada/terjadi. Dia menegaskan bahwa “sukar kita mengetahui ada/terjadi ijma’ selain dari ijma’ sahabat yang
masih sedikit jumlah orang-orang yang dipandang ahli ijma’.” Keadaan itu
memungkinkan mereka berkumpul atau memberi persetujuan kepada sesuatu pendapat
orang lain. Mereka masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal setempat, adapun
sekarang sesudah Islam tersebar ke seluruh pelosok, banyak bilangan ulama, tak
mungkin lagi kita meyakini ada terjadinya
ijma’ (kata sepakat) diantara mereka itu. Apa yang ditetapkan Abu muslim
ini itulah yang dipegang teguh oleh Ahmad yang masih dekat masanya kepada masa
sahabat dan yang sangat luas hafalannya terhadap segala urusan yang dinukilkan.
Ringkasnya ijma’ sesudah masa
sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’
dalam arti “mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul
mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar.[7]
2) Analisis Masalah
Pada bab ini, penyusun bermaksud untuk
menganalisa permasalahan yang berhubungan dengan kemungkinan AL-Ijma’ menurut
mujtahidin, dan Ijma’ tidak mungkin terjadi dalam kenyataan setelah wafatnya Rasulullah
SAW.
a)
Kemungkinan untuk menguatkan dalil Ijtihad
Di antara hal yang
menguatkan bahwa Ijma’ itu tidak
mungkin diwujudkan, yaitu bahwa jika Ijma’
itu diwujudkan, tentu harus disandarkan kepada dalil, karena mujtahid syar’i harus menyandarkan hasil
ijtihadnya kepada dalil. Dan bila dalil yang dijadikan sandaran oleh para
mujtahid (mujmi-un) itu qoth’i, maka di antara hal yang mustahil
menurut adat, jika dalil itu disembunyikan. Karena bagi umat Islam tidaklah
tersembunyi bagi mereka dalil syar’i
yang qoth’i sampai mereka memerlulan
kembali kepada para mujtahid. Dan jika ijma’
nya adalah berupa dalil zhanni tentu
mustahil menurut adat (kebiasaan) Ijma’,
karena dalil zhanni tidak bisa tidak,
tentu menjadi objek pertentangan.
b)
Ijma’ tidak mungkin terjadi dalam kenyataan setelah wafatnya Rasulullah
SAW.
Terjadinya Ijma’ dalam kenyataan yang ada
mengandung pernyataan: apakah Ijma’
dapat terbentuk secara nyata menurut makna tersebut pada masa-masa setelah wafat
Rasulullah SAW? Jawabannya: tentu tidak ada orang yang mau melihat kepada
peristiwa-peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya oleh sahabat, dan keputusan
itu dianggap sebagai Ijma’, maka jadi
jelas bahwa hal itu adalah Ijma’,
bukan menurut makna tersebut diatas, namun hanyalah sebagai kesepakatan para
hadirin dari kalangan ilmuwan atas satu hukum mengenai suatu peristiwa yang
dihadapkan. Pada dasarnya ia adalah hukum yang dihasilkan oleh musyawarah
jamaah, bukan dihasilkan dari pendapat perorangan.[8]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1) Ijma’
merupakan kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist
dalam suatu perkara yang terjadi. Dan merupakan sumber hukum yang ketiga
setelah Al-Qur’an dan Hadist.
2) Syarat
ijma’ yakni ijma’ harus berkaitan dengan hukum syara’ yang disepakati oleh seluruh mujtahid yang merupakan umat
Nabi Muhammad SAW dan dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
3) Macam-macam
ijma’ antara lain ijma’ qauli, ijma’ sukuti, ijma’
sahabat, ijma’ ahlul bait, dan ijma’ ulama Madinah.
4) Ijma’
merupakan hujjah yang wajib diamalkan
karena ijma’ merupakan sumber hukum
yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadist. Adapun dalil-dalil yang mendukung
pendapat jumhur ulama diantaranya yang terdapat pada surat an-Nisa’ ayat 115
dan hadist-hadist nabawi yang menunjukkan kemaksuman umat Islam dari kesalahan
dan kesesatan.
5) Ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para ahli
bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin terjadi.
Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa
Abu Bakar dan Umar.
B.
Saran
Penyusun mengharapkan sekali kepada para pembaca agar lebih
mengkaji lebih jauh tentang masalah Ijma’
menurut para mujtahidin agar tidak terjadi kesalah pahaman para mujtahid.
Dengan itu diharapkan agar pengertian Ijma’
telah disepakati oleh para ijtihad.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar
Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Mardani. Hukum Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ruhdiana,
Rian Riadi. “Al-Ijma”. (https://docs.google.com/document/d/1-fDf1rS67Sy6Xko-0bHHezAgm-EpK15vCYRZveod2UE/edit?hl=in&pli=1, diakses tanggal 16 Maret 2015).
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat
Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Syafe’i, Rachmad. Ilmu Ushul
Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Syukur, Sarmin. Sumber-Sumber
Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Taqwim, Ahmad.
“Problematika Ijma”. (http://syaeful-amru.blogspot.com/2012/05/makalah-ushul-fiqih-tentang-ijma.html, diakses 16 Maret
2015).
[2]Ahmad
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 60.
[7] Ahmad Taqwim,
“Problematika Ijma”, http://syaeful-amru.blogspot.com/2012/05/makalah-ushul-fiqih-tentang-ijma.html, diakses 16 Maret 2015.
[8] Rian Riadi
Ruhdiana, “Al-Ijma”, https://docs.google.com/document/d/1-fDf1rS67Sy6Xko-0bHHezAgm-EpK15vCYRZveod2UE/edit?hl=in&pli=1, diakses
tanggal 16 Maret 2015.
sangat membantuy sekali. terimakasih :)
BalasHapussamasama semoga bermanfaat :)
BalasHapusfollback mega. di malindaratnayu24.blogspot.com
BalasHapusKnp gk bisa di unduh
BalasHapus